dogma.id – Komite III DPD RI mengusulkan lima pandangan dan pendapat khusus atas Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM). Hal ini disampaikan Ketua Komite III DPD RI, Hasan Basri dalam Rapat Finalisasi RUU POM di Ruang Padjajaran, Gedung DPD RI, Senayan, 8/7/2024.
Komite III DPD RI menyoroti pasal yang mengatur tentang lingkup pengawasan obat dan makanan, dimana pengawasan obat dan makanan, pengawasan pre dan post market tidak bisa dipisahkan dan tidak berdiri sendiri. Pengawasan pre market merupakan salah satu upaya pencegahan, sedangkan post market merupakan responnya. Selain itu pengawasan obat dan makanan juga harus menyasar pada produk asal luar negeri yang beredar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami memberikan penekanan atas pengawasan makanan dan obat yang berasal dari luar negeri. Maka, DPD RI mengusulkan penambahan di pasal 4 ayat 2 yaitu pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi obat dan makanan produk dalam negeri dan luar negeri,” ujar Staf Ahli Komite III DPD RI, Dyah Aryani.
Selain itu, Komite III DPD RI juga memandang perlu adanya penguatan terhadap aturan peredaran obat yang telah diterbitkan oleh BPOM ke dalam muatan RUU Pengawasan Obat dan Makanan, yang menekankan pada larangan peredaran obat secara daring bagi narkotika dan psikotropika.
“Oleh karena itu muatan Pasal 46 RUU perihal larangan peredaran daring obat narkotika dan psikotropika harus dipertahankan,” ujar Dyah.
Terkait promosi dan iklan obat dan makanan, Komite III DPD RI berpandangan agar materi promosi dan iklan disusun dengan berpedoman pada Etika Pariwara Indonesia (EPI). Tidak dapat dipungkiri, saat ini cukup banyak promosi dan iklan yang menampilkan gambaran tidak realistis dan kesan palsu. Untuk itu, dibutuhkan promosi dan iklan yang baik sehingga dapat membantu konsumen dalam memahami bagaimana produk dapat memenuhi kebutuhan sekaligus keinginan mereka.
“DPD RI mengusulkan untuk mempertegas narasi pasal 63 ayat (2) dengan menyatakan bahwa materi promosi dan iklan obat dan makanan selain harus objektif dan tidak menyesatkan juga harus berpedoman pada Kode Etik Pariwara,” kata Dyah.
Dua pandangan lainnya yang diusulkan oleh Komite III DPD RI adalah memperkuat kelembagaan BPOM dan penegakan hukum berupa pemberian sanksi pidana untuk memberikan efek jera kepada pelaku usaha yang tidak sesuai prosedur, sehingga tidak mengulangi perbuatannya.
“Penegakan hukum berupa pemberian sanksi pidana selama ini sulit dilakukan pada pengawasan obat dan makanan, disebabkan karena Perpres 80 Tahun 2017 tentang BPOM tidak memuat perihal tersebut. Selama ini BPOM hanya dapat melakukan tindakan administratif berupa pencabutan izin edar obat dan makanan terhadap pelaku usaha yang tidak sesuai prosedur, “ jelasnya.
Lebih lanjut, Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri mengatakan, bahwa Kementerian Kesehatan dan BPOM dalam rapat kerja bersama Komite III DPD RI beberapa waktu lalu menyatakan pendapatnya yang menolak melanjutkan pembahasan RUU POM karena substansi yang terdapat di dalamnya dinilai secara keseluruhan sudah tercantum di sejumlah regulasi lain, yakni Undang Undang Kesehatan No 17 Tahun 2023 dan Undang Undang Cipta Kerja yang disusun dengan metode omnibus law.
“Prinsipnya, pemerintah tidak mau menyelesaikan RUU ini, tapi karena RUU ini usul inisiatif dari DPR RI, maka pembahasan tetap dilanjutkan. DPD RI dalam hal ini tidak boleh ketinggalan dalam pembahasan tripartit dengan pemerintah. Sehingga, kita tetap perlu untuk menyusun pandangan dan pendapat atas RUU POM ini,” jelas Hasan Basri.
Di akhir rapat, Hasan Basri meminta persetujuan kuorum untuk menyepakati pembahasan pandangan dan pendapat atas RUU POM untuk dimintakan pengesahan dalam sidang paripurna DPD RI.*tho