Dogma.id – Vonis bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur telah mencederai pemenuhan hak atas keadilan korban Dini Sera Afrianti beserta keluarga. Dini diduga tewas setelah dilindas mobil dan dianiaya oleh Ronald, putra anggota nonaktif DPR RI Edward Tannur, awal Oktober 2023.
Di Pengadilan Negeri Surabaya, jaksa penuntut umum (JPU) sudah menyajikan rangkaian perlakuan terdakwa, potongan CCTV, dan hasil visum et repertum. Semuanya menunjukkan adanya luka pada hati akibat benda tumpul dan bekas lindasan oleh ban mobil terdakwa.
Namun, majelis hakim yang diketuai Erintuah Damanik punya keyakinan berbeda. Erintuah beserta dua hakim anggota, Mangapul dan Heru Hanindyo, menganggap Ronald tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah membunuh maupun menganiaya Dini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kematian Dini bukan karena luka dalam pada hatinya, tetapi karena ada penyakit lain disebabkan minum minuman beralkohol saat karaoke sehingga mengakibatkan meninggalnya Dini,” ujar ketua majelis hakim Erintuah Damanik dalam sidang putusan, 24 Juli lalu.
Tidak hanya mengabaikan fakta-fakta yang tersaji di muka persidangan, ketiga hakim juga mengesampingkan mens rea (niat jahat) dari Ronald terkait tewasnya Dini yang didahului dengan actus reus (unsur tindakan) berupa melindas dan menampar korban.
Dakwaan berlapis berupa pembunuhan dan penganiayaan yang diajukan JPU tidak ada satu pun yang dikabulkan. Padahal, menampar dan memukul sudah menjadi bagian dari penganiayaan sehingga Korps Adhyaksa sangat percaya diri untuk menuntut terdakwa dengan hukuman 12 tahun penjara.
Berbagai kejanggalan yang terjadi atas putusan bebas Ronald memecut keriuhan di publik. Ratusan orang yang tergabung dalam kelompok masyarakat Aliansi Madura Indonesia menggelar aksi di depan gedung PN Surabaya di Jalan Arjuno, Surabaya, Jawa Timur, kemarin.
Dalam orasi, mereka mengatakan orang mencuri ayam saja bisa dipenjara empat tahun, apalagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. Massa mempertanyakan kenapa hal itu tidak menjadi pertimbangan para hakim yang menangani perkara Dini.
Sehari sebelumnya, para wakil rakyat yang duduk di Senayan, Jakarta, juga mengkritisi putusan majelis hakim PN Surabaya. Komisi III DPR RI mendesak agar Erintuah, Mangapul, dan Heru, yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Ronald, diperiksa.
Pemeriksaan itu untuk mengusut dugaan hakim ‘bermain’ dalam putusan kasus dugaan penganiayaan oleh Ronald yang menyebabkan kematian Dini. Pernyataan keras dari Komisi III disampaikan setelah menerima audiensi keluarga Dini.
Agar pemeriksaan terhadap Erintuah dan kawan-kawan bisa dijalankan, Komisi III akan terlebih dahulu memanggil Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk menindaklanjuti perkara vonis janggal terhadap Ronald.
Publik mengapresiasi langkah tegas DPR. MA dan KY jangan tinggal diam atas aroma permainan hukum. Profesi hakim sangatlah terhormat, luhur, dan mendapat label officum nobile. Jangan sampai profesi nan mulia tercemari oleh ulah oknum yang gemar mempermainkan hukum.
Ketika hukum sudah dipermainkan oleh mereka yang dijuluki ‘wakil Tuhan di muka bumi’ itu, wibawa lembaga peradilan di mata para pencari keadilan akan runtuh. Publik tentu tidak ingin situasi tersebut menimpa lembaga peradilan selaku benteng terakhir dari penegakan hukum.
Lebih dari itu, kematian Dini jangan sampai sia-sia. Ia harus menjadi simbol perlawanan bagi manusia-manusia keji yang gemar menganiaya perempuan. Total pelaporan kasus kekerasan perempuan dalam 8 tahun terakhir yang tercatat di Komnas Perempuan ialah 3.263.585 laporan.
Angka tersebut bisa dikurangi, asalkan semua pihak termasuk lembaga peradilan mau ikut ambil bagian. Jangan tutup mata terhadap perkara kekerasan berujung maut yang barang bukti serta kesaksiannya sudah begitu terang benderang disajikan di pengadilan.
Penulis : Yudi
Editor : Nur Laili Khoirunnisa