Dogma.id – Pemerintahan Presiden Joko Widodo selama sepuluh tahun (2014–2024) dinilai mengalami disorientasi dalam kebijakan pengendalian tembakau dan rokok. Hal ini diperkirakan akan berlanjut di rezim berikutnya, karena visi dan program pasangan calon presiden dan wakil presiden Probowo-Ghibran tidak mencantumkan kebijakan pengendalian tembakau secara jelas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran yang mendalam terkait bonus demografi dan cita-cita Indonesia Emas.
Mukhaer Pakkanna, Senior Advisor Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (CHED ITB-AD), menyatakan bahwa tingginya prevalensi perokok anak dan masyarakat miskin sebelum pergantian rezim pada Oktober 2024 merupakan bukti nyata dari kegagalan pengendalian tembakau di era Jokowi.
“Selama 10 tahun terakhir, pemerintah tidak mampu meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC). Kebijakan terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR) hanyalah sekedar wacana dalam RPJMN, sementara rokok masih mudah diakses oleh anak-anak dan remaja. Kenaikan tarif cukai pun tidak konsisten sesuai dengan standar WHO,” ujar Mukhaer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mukhaer juga menyoroti campur tangan industri rokok melalui lobi politik dan program tanggung jawab sosial (CSR) yang masih masif.
“Indeks Gangguan Industri Tembakau di Indonesia mencapai 84 poin, menandakan kuatnya intervensi industri rokok dalam mencegah pengendalian yang lebih ketat, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif,” tambahnya.
Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok tertinggi di Asia Tenggara, mencapai 65,7 juta orang, dengan 67 persen di antaranya berasal dari kelompok masyarakat miskin.
Dalam konteks peralihan kekuasaan, Mukhaer menyarankan beberapa langkah konkret untuk pengendalian tembakau yang lebih efektif pada akhir tahun 2024.
“Diperlukan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang lebih signifikan, termasuk untuk rokok elektronik dan tembakau iris, serta kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) minimal 25% per tahun untuk semua jenis rokok. Selain itu, struktur tarif CHT perlu disederhanakan menjadi 5 lapisan, kemudian 3 lapisan,” kata Mukhaer.
Selain itu, Mukhaer merekomendasikan revisi ketentuan pengawasan harga transaksi pasar menjadi 100% dari harga jual eceran yang ditetapkan. Desain ulang pita cukai agar tidak menutupi Peringatan Kesehatan Bergambar atau memberlakukan Digital Stamp juga dinilai penting, di samping integrasi pemantauan harga transaksi pasar rokok dengan kementerian dan lembaga terkait lainnya.
“Tantangan ini harus segera dijawab oleh pemerintah berikutnya agar masa depan Indonesia, terutama dalam konteks bonus demografi, tidak tergadai oleh kepentingan industri rokok,” tutup Mukhaer.(SDS)