Jakarta, dogma.id- Sebagian orang mungkin setuju jika kesuksesan pembangunan di negri ini sudah dimulai sejak era zaman Orde Baru. Julukan “Bapak Pembangunan” tersematkan pada presiden ke-2 Republik Indonesia.
Bukan tanpa sebab, melalui program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), begitu melekat dengan sosoknya. Dibalik megahnya pembangunan dan nawacita yang di gaungkan, adakah yang melihat sosok kuli yang turut serta mensukseskan pembangunan?
Iya, ia rela meninggalkan keluarga demi mengumpulkan beberapa rupiah untuk dapat mencukupi kebutuhan, dengan bekerja menjadi bagian dari proyek pembangunan, ia begitu cekatan mengangkut pasir serta sesekali membelah batu untuk mengerjakan fondasi dasar.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Usia bekerja ia kembali ke sembuh tempat tinggal yang akrab di sebut “bedeng” (hunian pekerjaan bangunan). Sambil melepas rasa lelah setelah bekerja, tak jarang mereka melakukan pijit (meregangkan otot yang kaku) dengan cara bergantian, begitu juga sebaliknya, setelah di pijit teman kerjanya ia juga bergantian memijit rekanya.
Terkesan romantis, namun itu terjadi dan berjalan begitu saja, artinya kekompakan mereka sebagai pekerja yang senasib sepenanggungan, tak hanya kompak ketika sedang berada di proyek pembangunan, tapi sampai ke tempat tidur mereka tetap guyub rukun untuk saling membantu.
Tak heran jika mereka dapat dengan mudah melewati dinamika permasalahan saat sedang bekerja. sebab rasa kebersamaan mereka lebih besar dengan masalah yang ada, artinya masalah kecil tak lebih besar dari kebersamaan mereka.
Begitu kuat hubungan dengan para pekerja proyek, tak jarang mereka juga janjian dengan pekerja lainnya untuk pulang kampung, mereka banyak yang berasal dari Purwodadi, Blora, Jepara dan daerah lainnya.
Profesi kuli atau pun tukang bangunan biasanya mereka sambil bertani, ada juga yang fokus hanya di proyek pembangunan, tak jarang mereka juga merantau ke sejumlah daerah untuk mengerjakan proyek di luar Pulau Jawa.
Menurut Jafar tukang yang akrab di panggil gondrong berasal dari Gubug, Purwodadi “tukang itu biasanya dari daerah purwodadi yang sudah terkenal diseluruh proyek kebanyakan orang Jawa Tengah, sampai diluar juga begitu” ujar Jafar sambil sesekali menghisap rokok yang dilengkapi gorengan di pagi hari.
Bukan isapan jempol belaka jika muncul kata “ketika rokok ngebul maka rumah impianmu terkabul” kata-kata yang akrab muncul di timeline sosial media tukang bangunan.
Saat sore tiba, para pekerja langsung bergegas kembali ke bedeng, tempat tidur sementara dengan berbagai kenangan di dalamnya.
Dari sepenggal kisah tersebut, banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran, tentang bagaimana kekompakkan dan rasa persaudaraan walaupun tanpa hubungan darah, dari sana pula terlihat jelas dan lugas tentang bagaimana tanggung jawab pekerjaan bangunan serta dedikasi terhadap profesi yang di geluti.
Masih banyak penggalan cerita tentang suksesnya pembangunan di negeri ini tak lepas dari tangan-tangan terampil dan gerakan lincah yang dilakukan oleh tukang dan kenek yang dipadu padankan. sehingga dapat terwujud gedung mercusuar yang menjadi icon sebuah daerah.
Pekerja bangunan dan kuli kasar yang kerap digolongkan sebagai Kerah Biru (pekerjaan kasar yang dilakukan menggunakan fisik), memiliki peranan dalam kemajuan suatu bangsa. Bersama kaum Kerah Biru berperan untuk Indonesia Maju.
Penulis : Yudi
Editor : Riesta