Haidar Alwi: Revisi RUU KUHAP Dan Kejaksaan Berpotensi Meruntuhkan Sistem Hukum Berkeadilan.

Sunday, 16 March 2025 - 00:31 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

dogma.id – Revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berpotensi memutilasi kewenangan Polri secara sistematis, sekaligus memberikan Kejaksaan kekuasaan absolut dalam sistem peradilan. Jika dibiarkan, perubahan ini bisa menjadi titik balik yang menghancurkan keseimbangan hukum di Indonesia, di mana Polri dikerdilkan dan Kejaksaan menjadi satu-satunya otoritas penegak hukum tanpa pengawasan berarti.

Ir. R. Haidar Alwi, Mt, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyoroti ancaman besar di balik revisi ini. Menurutnya, jika polisi hanya menjadi eksekutor tanpa wewenang penyelidikan dan penyidikan, maka Kepolisian Republik Indonesia secara de facto telah dikebiri dan dipaksa tunduk di bawah kekuasaan tunggal Kejaksaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Polisi Tak Lagi Bisa Menyelidiki Kasus Secara Independen.

Salah satu perubahan paling berbahaya dalam revisi ini adalah hilangnya kewenangan Polri dalam menangani penyelidikan dan penyidikan perkara pidana. Dengan kata lain, polisi tidak lagi memiliki kendali atas proses hukum yang mereka tangani sendiri. Semua tahapan kasus, sejak awal hingga akhir, akan berada di tangan Jaksa.

“Ini bukan sekadar pengalihan peran, tetapi bentuk pemangkasan besar-besaran terhadap otoritas kepolisian. Polisi akan kehilangan independensi, hanya bisa bergerak berdasarkan arahan Kejaksaan. Jika demikian, untuk apa lagi ada institusi kepolisian dalam sistem peradilan pidana?” tegas Haidar Alwi. (Sabtu, 15 Maret 2025)

Jika revisi ini diterapkan, Polri akan mengalami dampak fatal:

1. Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Hilang
Polisi hanya bisa bergerak jika ada perintah dari Kejaksaan. Semua langkah yang diambil dalam sebuah kasus harus mendapat restu Jaksa, termasuk penahanan dan pemanggilan saksi.

2. Polri Menjadi Alat Birokrasi, Bukan Lembaga Penegak Hukum
Dengan hilangnya peran investigatif, polisi hanya akan bertugas sebagai eksekutor teknis yang menjalankan perintah hukum tanpa independensi.

3. Kriminalitas Bisa Meningkat Akibat Lambatnya Proses Hukum
Tanpa wewenang penuh, polisi akan mengalami hambatan birokrasi dalam menangani kejahatan, terutama dalam situasi yang membutuhkan tindakan cepat.

“Jika polisi kehilangan hak untuk melakukan penyelidikan sendiri, siapa yang akan memastikan proses hukum berjalan dengan adil? Apakah kita siap menyerahkan sepenuhnya sistem hukum kepada satu lembaga tanpa ada mekanisme pengawasan?” tanya Haidar Alwi.

Kejaksaan Berubah Jadi Penguasa Tunggal di Dunia Hukum?

Di sisi lain, revisi ini justru memberikan Kejaksaan otoritas yang nyaris tak terbatas. Jaksa tidak hanya menjadi penuntut, tetapi juga mengambil alih fungsi penyelidikan dan penyidikan. Dengan kata lain, Kejaksaan bisa menentukan kasus mana yang ditindaklanjuti, siapa yang harus diseret ke pengadilan, dan siapa yang bisa ‘diselamatkan’ tanpa intervensi dari pihak lain.

“Jika Kejaksaan memiliki kewenangan mutlak atas semua proses hukum, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan akan meningkat drastis. Tanpa adanya kontrol dari kepolisian, Kejaksaan bisa dengan mudah dijadikan alat politik atau ekonomi bagi kelompok tertentu,” jelas Haidar Alwi.

Baca juga  Presiden Jokowi Apresiasi Blok Rokan, Penghasil Migas Terbesar di Indonesia

Tiga ancaman utama dari monopoli hukum oleh Kejaksaan adalah:

1. Jaksa Bisa Mengontrol Siapa yang Dihukum dan Siapa yang Dibebaskan
Dengan kewenangan penuh, Kejaksaan memiliki kuasa untuk menghentikan atau mempercepat kasus sesuai kepentingan tertentu.

2. Peningkatan Kriminalisasi dan Politisasi Kasus
Tanpa polisi sebagai penyeimbang, hukum bisa dijadikan alat tekanan bagi oposisi atau individu yang tidak sejalan dengan kekuasaan.

3. Korupsi di Kejaksaan Bisa Meningkat Tajam
Jika satu lembaga memiliki kontrol absolut, maka celah suap, pemerasan, dan rekayasa perkara semakin terbuka lebar.

“Seharusnya kita belajar dari negara-negara yang pernah gagal dalam reformasi hukumnya. Ketika satu institusi memiliki kekuasaan terlalu besar tanpa pengawasan, maka hukum bisa berubah menjadi alat tirani, bukan lagi instrumen keadilan,” lanjut Haidar Alwi.

Dampak Sistemik: Runtuhnya Sistem Hukum Berkeadilan.

Jika revisi ini dipaksakan, Indonesia bisa menghadapi krisis hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa efek yang dapat muncul di antaranya:

1. Polisi Tak Lagi Mampu Melindungi Masyarakat dengan Cepat dan Efektif
Jika polisi harus menunggu persetujuan Jaksa untuk bertindak, maka kejahatan bisa berkembang lebih cepat dibandingkan respons hukum.

2. Jaksa Menjadi ‘Hakim Bayangan’ dalam Proses Peradilan
Dengan kendali penuh atas penyelidikan dan penyidikan, Jaksa bisa mengatur jalannya perkara tanpa pengawasan berarti.

3. Keadilan Bisa Dibeli oleh yang Punya Kekuasaan dan Uang
Jika tidak ada mekanisme penyeimbang, hukum hanya akan berpihak kepada mereka yang memiliki akses ke kekuasaan dan sumber daya finansial.

4. Maraknya Kasus Rekayasa dan Peradilan Sesat
Tanpa kontrol kepolisian, potensi kasus rekayasa dan peradilan yang bias kepentingan semakin besar.

5. Kejaksaan Bisa Berubah Menjadi ‘Lembaga Superbody’ Tanpa Pengawasan
Jika revisi ini disahkan, tidak akan ada yang bisa membendung Kejaksaan jika mereka menyalahgunakan kewenangannya.

Haidar Alwi: Revisi Ini Harus Ditolak Demi Keselamatan Hukum Indonesia.

Sebagai pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, Haidar Alwi menegaskan bahwa perubahan ini harus dikritisi dan ditolak keras. Ia menekankan bahwa reformasi hukum tidak boleh dilakukan dengan cara menghapus keseimbangan kekuasaan antara Kepolisian dan Kejaksaan.

“Jika hukum hanya dikendalikan oleh satu lembaga, maka kita sedang berjalan menuju era otoritarianisme hukum. Ini harus dihentikan sebelum terlambat,” tegas Haidar Alwi.

Ia pun menyerukan kepada masyarakat, akademisi, dan seluruh elemen bangsa untuk bersuara dan menolak revisi yang melemahkan Polri ini.

“Kita harus melindungi independensi kepolisian, bukan malah menyerahkannya ke tangan satu lembaga tanpa pengawasan. Jangan biarkan hukum berubah menjadi alat kepentingan, karena jika itu terjadi, maka keadilan hanya akan menjadi ilusi belaka,” pungkas Haidar Alwi

Baca juga  Dieng Culture Festival (DCF) Hadir Kembali 2024

Revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) berpotensi memutilasi kewenangan Polri secara sistematis, sekaligus memberikan Kejaksaan kekuasaan absolut dalam sistem peradilan. Jika dibiarkan, perubahan ini bisa menjadi titik balik yang menghancurkan keseimbangan hukum di Indonesia, di mana Polri dikerdilkan dan Kejaksaan menjadi satu-satunya otoritas penegak hukum tanpa pengawasan berarti.

Ir. R. Haidar Alwi, Mt, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menyoroti ancaman besar di balik revisi ini. Menurutnya, jika polisi hanya menjadi eksekutor tanpa wewenang penyelidikan dan penyidikan, maka Kepolisian Republik Indonesia secara de facto telah dikebiri dan dipaksa tunduk di bawah kekuasaan tunggal Kejaksaan.

Polisi Tak Lagi Bisa Menyelidiki Kasus Secara Independen.

Salah satu perubahan paling berbahaya dalam revisi ini adalah hilangnya kewenangan Polri dalam menangani penyelidikan dan penyidikan perkara pidana. Dengan kata lain, polisi tidak lagi memiliki kendali atas proses hukum yang mereka tangani sendiri. Semua tahapan kasus, sejak awal hingga akhir, akan berada di tangan Jaksa.

“Ini bukan sekadar pengalihan peran, tetapi bentuk pemangkasan besar-besaran terhadap otoritas kepolisian. Polisi akan kehilangan independensi, hanya bisa bergerak berdasarkan arahan Kejaksaan. Jika demikian, untuk apa lagi ada institusi kepolisian dalam sistem peradilan pidana?” tegas Haidar Alwi. (Sabtu, 15 Maret 2025)

Jika revisi ini diterapkan, Polri akan mengalami dampak fatal:

1. Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Hilang
Polisi hanya bisa bergerak jika ada perintah dari Kejaksaan. Semua langkah yang diambil dalam sebuah kasus harus mendapat restu Jaksa, termasuk penahanan dan pemanggilan saksi.

2. Polri Menjadi Alat Birokrasi, Bukan Lembaga Penegak Hukum
Dengan hilangnya peran investigatif, polisi hanya akan bertugas sebagai eksekutor teknis yang menjalankan perintah hukum tanpa independensi.

3. Kriminalitas Bisa Meningkat Akibat Lambatnya Proses Hukum
Tanpa wewenang penuh, polisi akan mengalami hambatan birokrasi dalam menangani kejahatan, terutama dalam situasi yang membutuhkan tindakan cepat.

“Jika polisi kehilangan hak untuk melakukan penyelidikan sendiri, siapa yang akan memastikan proses hukum berjalan dengan adil? Apakah kita siap menyerahkan sepenuhnya sistem hukum kepada satu lembaga tanpa ada mekanisme pengawasan?” tanya Haidar Alwi.

Kejaksaan Berubah Jadi Penguasa Tunggal di Dunia Hukum?

Di sisi lain, revisi ini justru memberikan Kejaksaan otoritas yang nyaris tak terbatas. Jaksa tidak hanya menjadi penuntut, tetapi juga mengambil alih fungsi penyelidikan dan penyidikan. Dengan kata lain, Kejaksaan bisa menentukan kasus mana yang ditindaklanjuti, siapa yang harus diseret ke pengadilan, dan siapa yang bisa ‘diselamatkan’ tanpa intervensi dari pihak lain.

“Jika Kejaksaan memiliki kewenangan mutlak atas semua proses hukum, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan akan meningkat drastis. Tanpa adanya kontrol dari kepolisian, Kejaksaan bisa dengan mudah dijadikan alat politik atau ekonomi bagi kelompok tertentu,” jelas Haidar Alwi.

Baca juga  BKSP DPD RI Tindak Lanjuti Kerja Sama Dengan Pemerintah Republik Ceko

Tiga ancaman utama dari monopoli hukum oleh Kejaksaan adalah:

1. Jaksa Bisa Mengontrol Siapa yang Dihukum dan Siapa yang Dibebaskan
Dengan kewenangan penuh, Kejaksaan memiliki kuasa untuk menghentikan atau mempercepat kasus sesuai kepentingan tertentu.

2. Peningkatan Kriminalisasi dan Politisasi Kasus
Tanpa polisi sebagai penyeimbang, hukum bisa dijadikan alat tekanan bagi oposisi atau individu yang tidak sejalan dengan kekuasaan.

3. Korupsi di Kejaksaan Bisa Meningkat Tajam
Jika satu lembaga memiliki kontrol absolut, maka celah suap, pemerasan, dan rekayasa perkara semakin terbuka lebar.

“Seharusnya kita belajar dari negara-negara yang pernah gagal dalam reformasi hukumnya. Ketika satu institusi memiliki kekuasaan terlalu besar tanpa pengawasan, maka hukum bisa berubah menjadi alat tirani, bukan lagi instrumen keadilan,” lanjut Haidar Alwi.

Dampak Sistemik: Runtuhnya Sistem Hukum Berkeadilan.

Jika revisi ini dipaksakan, Indonesia bisa menghadapi krisis hukum yang belum pernah terjadi sebelumnya. Beberapa efek yang dapat muncul di antaranya:

1. Polisi Tak Lagi Mampu Melindungi Masyarakat dengan Cepat dan Efektif
Jika polisi harus menunggu persetujuan Jaksa untuk bertindak, maka kejahatan bisa berkembang lebih cepat dibandingkan respons hukum.

2. Jaksa Menjadi ‘Hakim Bayangan’ dalam Proses Peradilan
Dengan kendali penuh atas penyelidikan dan penyidikan, Jaksa bisa mengatur jalannya perkara tanpa pengawasan berarti.

3. Keadilan Bisa Dibeli oleh yang Punya Kekuasaan dan Uang
Jika tidak ada mekanisme penyeimbang, hukum hanya akan berpihak kepada mereka yang memiliki akses ke kekuasaan dan sumber daya finansial.

4. Maraknya Kasus Rekayasa dan Peradilan Sesat
Tanpa kontrol kepolisian, potensi kasus rekayasa dan peradilan yang bias kepentingan semakin besar.

5. Kejaksaan Bisa Berubah Menjadi ‘Lembaga Superbody’ Tanpa Pengawasan
Jika revisi ini disahkan, tidak akan ada yang bisa membendung Kejaksaan jika mereka menyalahgunakan kewenangannya.

Haidar Alwi: Revisi Ini Harus Ditolak Demi Keselamatan Hukum Indonesia.

Sebagai pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, Haidar Alwi menegaskan bahwa perubahan ini harus dikritisi dan ditolak keras. Ia menekankan bahwa reformasi hukum tidak boleh dilakukan dengan cara menghapus keseimbangan kekuasaan antara Kepolisian dan Kejaksaan.

“Jika hukum hanya dikendalikan oleh satu lembaga, maka kita sedang berjalan menuju era otoritarianisme hukum. Ini harus dihentikan sebelum terlambat,” tegas Haidar Alwi.

Ia pun menyerukan kepada masyarakat, akademisi, dan seluruh elemen bangsa untuk bersuara dan menolak revisi yang melemahkan Polri ini.

“Kita harus melindungi independensi kepolisian, bukan malah menyerahkannya ke tangan satu lembaga tanpa pengawasan. Jangan biarkan hukum berubah menjadi alat kepentingan, karena jika itu terjadi, maka keadilan hanya akan menjadi ilusi belaka,” pungkas Haidar Alwi.

Facebook Comments Box

Berita Terkait

Sejalan Dengan Asta Cita Pemerintah, Pertamina Dukung Pengembangan Geothermal
Menteri PU Tinjau Perbaikan Jalan Nasional di Jawa Timur Dukung Kelancaran Mudik Lebaran 2025
Dukung Kesiapan Mudik Lebaran 2025, Menteri Dody Tinjau Tol Fungsional Ruas Kraksaan – Paiton
Kampanye Cinta Bangga Paham Rupiah dibulan Ramadan, KPw BI Tegal Sasar Pondok Pesantren
Kemendes PDT Dapat Tambahan Anggaran Rp 345 Miliar dari PHLN untuk Program P3PD dan TEKAD
Dukung Mudik Lancar, Pertamina Turunkan Harga Avtur, Diskon Tiket Pelita Air, Pelumas hingga Promo Hotel Patra Jasa
Google, Korlantas Polri, dan Jasa Marga Kolaborasi Optimalkan Aplikasi Terintegrasi untuk Arus Mudik dan Balik Lebaran 2025
Haidar Alwi: Jangan Terjebak Hoax, Cermati Fakta dengan Bijak.

Berita Terkait

Sunday, 16 March 2025 - 00:43 WIB

Sejalan Dengan Asta Cita Pemerintah, Pertamina Dukung Pengembangan Geothermal

Sunday, 16 March 2025 - 00:39 WIB

Menteri PU Tinjau Perbaikan Jalan Nasional di Jawa Timur Dukung Kelancaran Mudik Lebaran 2025

Sunday, 16 March 2025 - 00:36 WIB

Dukung Kesiapan Mudik Lebaran 2025, Menteri Dody Tinjau Tol Fungsional Ruas Kraksaan – Paiton

Thursday, 13 March 2025 - 23:11 WIB

Kampanye Cinta Bangga Paham Rupiah dibulan Ramadan, KPw BI Tegal Sasar Pondok Pesantren

Wednesday, 12 March 2025 - 23:07 WIB

Kemendes PDT Dapat Tambahan Anggaran Rp 345 Miliar dari PHLN untuk Program P3PD dan TEKAD

Berita Terbaru